Pilihan Hati

Pilihan Hati

Kugerakkan kakiku yang telah memutih karena sejak dua jam lalu terendam air. Dulu, waktu kecil, kata amak aku selalu begini kalau  sedang ngambek ataupun bila aku ada masalah. Duduk di atas batu, bermain air, dan melamun. Pernah suatu sore, aku ngambek gara – gara apak tidak mau mengantarkanku ke kota Bukittinggi.atau ketika aku tak bisa memilih barang – barang yang aku sukai di pasar senen. Aku tidak mau pulang, hingga akhirnya amak menjemputku kesini, walaupun aku tak bilang kalau pergi ke sini. Mungkin karena rumah kami agak dekat dengan sungai batang hari ini.  Amak ? apak ? entah mengapa hatiku selalu perih dan sesak dengan rindu jika mengingat keduanya.

Dulu, walaupun tak ada darah bangsawan mengalir di keluargaku, aku selalu beranggapan bahwa aku terlahir sebagai seorang putri sebuah kerajaan. Kerajaan kecil yang bahagia yang memiliki raja dan ratu yang penyayang. Betapa tidak? Aku anak tunggal, semua sepupuku pun lelaki. Amak dan apak sangat menyayangiku. Di sela – sela keletihannya karena seharian bekerja di sawah, amak tetap menyempatkan diri mendengarkan cerita – ceritaku dan mendongengkanku hingga terlelap di pangkuannya. Sedangkan apak? Lelaki yang paling kuat di mataku itu selalu membawakanku hasil – hasil kebun yang paliii..ng bagus dan selalu memarahi anak lelaki yang menjahiliku.  Hidupku tentram, aman, bak seorang putri di rumah gadang bak istana.

Tak heran, karena itu jugalah aku berandai – andai, sebagai seorang putri seharusnya ku bebas menentuka pilihan dan menggapi cita – citaku. Namun, bila dongeng putri dalam dongeng berakhir bahagia, ceritaku tampaknya tak menemukan ending yang baik. Banjir sungai yang menenggelamkan sawah kami akibat hujan deras beberapa hari itu telah merenggut segalanya yang kumiliki.  Apak terseret banjir saat berusaha menolong uda Aan, tetanggaku, yang terseret arus air. Dengan susah payah, akhirnya Apak berhasil menolong uda Aan. Lega hatiku.namun ternyata hanya sedetik, tempat bapak berpijak ternyata rapuh.

“Apak….!!! Mak…kita tolongin apak….”

“jangan Mayang, kito ndak bisa baranang….”

“Apaaaak…..”

hanya jeritan yang keluar dari mulutku diselingi istighfar dari perempuan tabah yang terus memelukku yang kedinginan dan ketakutan.

Sosok tubuh yang selalu menggendongku jika aku lelah berjalan itu lenyap tertelan arus. Orang – orang dewas berusaha menyelamatkan. Aku dan amak menjerit menyaksikan pemandangan itu dari tepian. Terlebih lagi ketika orang – orang yang tadi berusaha menolong apak kini kembali ketepian Bersama tubuh apak yang tak lagi bernapas, nadinya tak lagi berdenyut…

“Tidaaak.. ya Allah…!” Jeritan amak mengagetkanku. Perlahan pelukannya mengendur. Amak pingsan!

…………………

 

Sejak saat itu jalan hidupku berubah total bak Cinderella ketika bapaknya pergi berdagang, hanya saja kalau di Cinderella sang bapak akan pulang kembali, tapi tidak untuk bapakku. Amak mulai sakit – sakitan. Dan akhirnya pun menyusul apak dua tahun kemudian. Semua peninggalan amak dan apak diambil alih mamakku, termasuk rumah yang kini kutinggali bersama keluarga mamak dan kebun, serta sawah – sawah kami. Cita – citaku untuk jadi dokter kandas seketika.. makan dan uang jajanku diatur mamak. Tak jarang cacian dan makian kudapat. Terlebih ketika aku telah lulus SMP.

“Kau tu jangan minta pitih sajo, carilah kerja……banyak pitih yang habis untuk menyekolahkanmu” ucap mamak ketika kuutarakan keinginanku. Aku bengong. Aku banyak menghabiskan uang? Ya, kuakui itu. Tapi yang kupakai untuk sekolah dan hidup adalah uang hasil penjualan sawah amak dan apak. Apakah aku salah?

“Kau lihat si anak ajo itu? Sekarang dia sudah bisa cari pitih..di Jakarta lagi..” etek menimpali.

Memang telah kudengar tentang Echie, anaknya ajo, mantan teman SD-ku yang telah sukses di Jakarta. Ratusan ribu, bahkan jutaan rupiah kudengar telah dikirimkannya  kepada orang tuanya. Memang enak dan menarik untuk orang – orang sekampungku. Tapi aku tahu pekerjaan seperti apa yang digelutinya. Na uzubillah… biarlah aku sekolah disini sambil mengurusi sawah. Toh aku tetap berusaha bekerja.

Selain itu, mamak selalu ikut campur dalam urusanku. Hingga beberapa tahun yang lalu.

“Mamak, Mayang lulus UMPTN di Jakarta, jurusan kedokteran…” kataku saat lulus SMU.

“Kau tuh ngapain kuliah tinggi – tinggi, nanti juga turun ke dapur.. buat apa? Mending kau urus tuh sawah apak kau, mamak capek mengurusnya.”

Lho, kok? Bukankah selama ini mamak dan etek makan dari hasil sawah itu? Pikirku.

“Kuliah tuh mahal…ndak usah buang – buang pitih! Mangarati!”

“Tapi mamak…May masih punya ini..” aku menyodorkan satu – satunya peninggalan amak untukku sebelum wanita yang sangat kucintai itu pergi untuk selamanya. Bungkusan lusuh berisi perhiasan amak.

“ Mamak boleh memakai sisa hasil penjualannya.”ucapku. Mamak terdiam sesaat. Berpikir sebentar. Lalu…“Ya sudah, kapan kau nak pergi?”

“Seminggu lagi, terima kasih mamak.” Aku bergegas ke kamar. Senang. Amak, apak, sesuai aku akan membuatmu bangga di sana. Terima kasih ya Allah.

…………………..

Di Jakarta, aku tinggal di rumah kos kecil dan sederhana. Minggu – minggu pertama kuliah masih belum padat. Jadi kuputuskan untuk mencari kerja sampingan.karena tak mungkin aku harus terus meminta kepada mamak. Alhamdulillah, melalui Hanni,sahabatku, kudaptkan kerja sambilan di sebuah butik islam yang di kelola oleh seniorku di kampus.

Hari – hariku berjalan dengan baik. IP-ku yang melewati angka tiga lebih memudahkanku untuk mencari pekerjaan sampingan yang lain. Sesekali surat dari mamak atau etek datang. Kadang berisi keluhan – keluhan tentang panen yang kurang bagus, tingkat kesuburan tanah sawah yang menurun, sampai kambing yang susah diatur. Semua kusikapi dengan sabar. Lupa sudah kehidupanku di masa lalu. Toh, tidak ada salahnya aku berbakti kepada mereka yang juga telah membesarkanku. Pikirku.

“ Mayang….”

Sebuah suara menyadarkan dari lamunan. Ternyata Fitri, teman sepermainanku sejak kecil.

“Eh, fit…tumben pai ka siko?” sahutku.

“Tumben ? yo…gimana aku nggak kesini..si tuan putrinya ndak ado di rumah”

“Hu….trus?”

“Trus apa bu dokter? Harusnya aku yang nanyain bu dokter” sejak dulu, sejak aku diterima kuliah di kedokteran fitri memang selalu memanggilku bu dokter.

“Nanya apa fit?”

“ Ya nanya tentang perjodohan itu..tentang  mamakmu itu …”

“Entahlah fit, aku jadi ragu…bagaimanapun mamak adalah orang yang sudah membesarkanku setelah amak dan apak..”

Aku tertunduk.  Tanpa sepengetahuanku ternyata mamak telah menjodohkanku dengan anak pak wali di nagari kami setahun yang lalu. Tepat setelah kelulusanku. Ketika kutanyakan hal it ekpada mamak..

“ untuk apa? Kau batanyo untuk apo den manikahkan kau dengan anak pak wali itu? Mayang…kau tahu berapa banyak gadih minang yang ingin menjadi menantunya? Anaknya itu orang pandai, kaya, terpandang… di minang kabau ini gadih yang harus membeli..tapi kau? Dia rela membayar mas kawin berapapun untukmu, lalu apa lagi yang kau risaukan?”

begitulah jawaban mamak atas pertanyaanku. Apa yang kurisaukan? Harusnya itu tak perlu kujawab karena mamak sendiri pasti tahu hal itu. Syamsul yang di jodohkannya denganku itu seorang pemabuk, suka berfoya – foya dengan harta orang tuanya, suka hura – hura, dan mempermainkan perempuan. Haruskan aku menikah dengan orang yang seperti itu? Lalu bagaimana keluargaku kelak? Sedangkan untuk membawanya ke jalan yang benar? Entahlah, aku merasa tak sanggup.

“Mayang….”

Fitri menatap mataku yang mulai berair.

“ Mayang, kita memang harus berbakti kepada kedua orang tua kita, dan dalam hal ini mamak dan etekmulah yang telah membesarkanmu dan menggantikan peran orang tuamu..”

“Ya, Fit.. aku tidak mau menjadi anak yang durhaka..”

“Tapi may.. yang harus kamu ingat, taat kepada keduanya memang di haruskan, tapi selama itu tidak menyimpang kepada yang buruk, sedangkan hidayah tergantung kepadaNYA may..karena Allahlah yang akan menurunkan hidayahnya kepada orang yang dikehendakinya.. dan tentu saja dengan usaha manusia itu sendiri, ataupun dengan bantuan orang di sekelilingnya..”

Aku menatap aliran sungai beberapa saat. Lalu..

“Terima kasih Fit…yuk kita pulang…” ajakku.

“Lho?! Aku kan belum jawab kalau aku memilih sepertimu, apa yang akan kupilih…”

“ Nggak, aku sudah punya jawabannya, doakan aku ya agar kuat dan sabar menghadapi ujian ini, ok? May we go home?.”

“Haah…?! Tau begitu aku nggak susah – susah deh jemputin kamu kesini, mana pulangnya kan tanjakan…huu….” Bibir Fitri mengerucut. Aku nyengir.

“ Kan ada teman sama – sama merasakan capek…he..he…”jawabku setelah bersiap berlari menaiki tanjakan, sebelum tangan Fitri sempat mencubitku. Bismillah…akan kutapaki langkah baru, walaupun harus mendaki tanjakan batu seperti ini, karena tanjakan ini pasti berlalu, dan akan kujumpai tanah yang datar.

 

——Selesai—-

 

 

kito ndak bisa baranang : kita tidak bisa berenang

tumben pai ka siko? : tumben pergi kesini?

Kau batanyo untuk apo den manikahkan kau : kamu bertanya untuk apa aku menikahkanmu

Gadih : gadis

Cinta Terakhir – Bagian 1

Agustus 2003…

Sebuah motor orange berhenti disebuah rumah dengan pagar putih.

“Posssss…!!”

Seorang gadis berumur tujuh belas tahunan keluar dan menghampiri si tukang pos, memberikan dua lembar amplop coklat dan kertas untuk ditandatangani. sigadis pun menuliskan namanya “Khanza Dzufaira Azkahara”. Selang beberapa saat setelah si tukang pos pergi, tiba-tiba terdengar suara jeritan.

“Yessssssss aku diterimaaaa.. alhamdulillah…”

………………………………………………..

 

Khanza termenung di depan layar komputernya, matanya menatap layar dengan tatapan kosong. Masih terngiang dikepalanya percakapannya dengan kakak sulungnya tadi siang.

“Kamu boleh aja jadi penulis, tapi kan tidak harus kuliah difakultas sastra, banyak orang yang tidak kuliah di fakultas sastra,tapi bisa jadi penulis terkenal.”

“Tapi.. khanza minatnya di sastra uda, khanza nggak ngerti akuntansi, nggak pintar hitung-hitungan..”

“Itu kan bisa dipelajari nanti, waktu jadi murid baru di SMA saja kamu bisa langsung rangking satu,mengalahkan murid lain,padahal murid lain sudah belajar IPA  setahun,sedangkan kamu baru belajar, sebulan langsung bisa menyusul yang lain. Kalau kamu pilih di fakultas ekonomi, nanti kamu bisa bantu untuk mengurusi usaha keluarga kita.” ujar

Hffff. Berat. khanza menarik napas panjang.  Susah deh kalau uda Edri sudah bilang begitu. Percuma membantah. Ya tuhan, benarkan jalan ini yang harus aku pilih? bagaimana jika aku tak sanggup? bagaimana dengan cita-citaku sendiri? sejak di bangku SMA tak pernah sekalipun aku berpikir untuk kuliah di fakultas lain, hanya sastra, sastra dan sastra. Keinginanku bukan cita-cita buta, tapi memang aku senang sekali menulis dan tulisanku juga pernah mendapatkan juara. Hffff…

………………………………………

 

September 2003, Fakultas Ekonomi…

Fakultas Ekonomi. Ya, Akhirnya ia menikuti keinginan kakaknya untuk meneruskan kuliah di jurusan akuntansi fakutas ekonomi. Entah lah, ia sendiri tidak tahu apa ia akan bisa menjalani tiga tahun bersama dengan mata kuliah yang ia musuhi sejak di bangku SMA dulu.

Khanza memandangi bangunan – bangunan disekeliling. “Masih sepi, aku berkeliling dulu ah..!” ucapnya dalam hati.

Ia pun menelusuri kelas demi kelas, lalu akhirnya berhenti di depan sebuah majalah dinding. Sebuah pamplet menarik perhatiannya. Hmmm.. training pendalaman agama islam. “Boleh juga, tapi..anak baru boleh nggak ya ikutan? ah,coba aja..” Ia pun menuliskan nama dan nomor handphone-nya di kertas tersebut.

…………………………..

 

Beberapa hari kemudian……………..

“Asslamkm, ditunggu kedatangannya di pertemuan persiapan training ke islaman besok sabtu, pk.16.00 wib di loby A belakang ya, wsslm. Alfath”

Hmmm.. Khanza memandangi layar ponselnya. Keningnya berkerut. Lalu menulis. “Emang anak baru boleh ikut kak?” Send.

beberapa detik kemudian..

“Boleh kok, karena ini sifatnya eksternal,bukan organisasi internal kampus. Ok,ditunggu ya nanti,wsslmkm”

“Ok.wassalam”

…………………………………..

Lobby, sabtu pk.16.30 wib

Khanza mondar – mandir di depan sebuah ruangan.

“Duhh, kemana ya orang-orangnya? mana nggak kenal lagi  atau jangan-jangan aku salah tempat lagi..” gerutunya dalam hati. Selang beberapa detik kemudian tampak beberapa mahasiswa lain yang tampaknya sudah agak senior berjalan menuju ke arahnya.  Seorang cowok berkaca mata dengan penampilan yang berwibawa. “Waw, cool” cetus Khanza dalam hati.

“Assalamu’alaikum, Khanza bukan?”

Khanza mengangguk.

“Kenalin, aku Alfath, yang SMS kamu kemarin, ini Retno, Anggi, ini Fitri, ini Apoy, trus Tama, Andra, Putra..”

Khanza pun menyalami tiga mahasiswa yang perempuan, dan lalu mengangguk sopan kepada mahasiswa lainnya.

“Yuk, kita ke ruangan..”

Mereka semua pun lalu masuk ke sebuah ruangan. Bercengkrama dan bertukar cerita satu sama lain. Itulah awal pertemuan Khanza dan Alfath, serta teman-temannya. Pertemuan yang mempunyai banyak lika-liku, suka,maupun duka. Pertemuan itu juga yang membuatnya enjoy melewati kebete-annya menjalani hari – hari dengan segudang akuntansi yang dibencinya.  Dari Pertemuan itu juga yang telah menyematkan sebuah nama dihatinya. Alfath. 🙂

………….tunggu sambungannya ya..!!!………………………….

Promo 25oktober – 14 November

Promo Katalog11 : Oriflame Lipgloss Pendant Periode 25 Oktober 2010 – 14 November 2010

Periode 25 Oktober 2010 – 14 November 2010

Looking for a stylish different kind of Lipgloss???

Look no more!!


Tampil cantik dengan Oriflame Pendant yang dirancang khusus

Buka pendant eksklusif ini untuk mendapatkan Lipgloss anda

*******************

Caranya?

Lakukan order akumulasi 75bp pada katalog 11 dan dapatkan

ORIFLAME LIPGLOSS PENDANT EKSKLUSIF hanya Rp 99.000* (harga consultant)

*Oriflame Lipgloss Pendant akan diberikan kepada pencapai kualifikasi saat melakukan order BP pertama minimum Rp.175.000,- pada Katalog 12.

PROMO LAINNYAAA…… MASIH ADA LHO…!!!

MAU DAPETIN HADIAH  YANG SUPER WAH SEPERTI DIATAS SETIAP BULANNYA? GABUNG SEKARANG, ISI FORMULIRNYA LANGSUNG DI www.peluangbisnisdarirumah.tk

KEMBALILAH CINTA

Sore hari di bawah lembayung tirai senja..

Warna lembayung mulai menghiasi wajah senja. Biasnya membuat semua orang yang memandangnya terkagum dan terpesona. Namun, tidak demikian dengan sosok Fity. Gadis itu Cuma mematung dengan tatapan dingin dan sinis. Hampa.

“fity, aku ingin kamu tetap jadi sahabatku Fit” Ucap Cinta, sosok yang sempat asing di hatinya itu, sambil terus menatap sore yang kian menjelang. Ia mematap gadis itu dengan tatapan kasihan dan iba, walaupun gadis itu seperti tak peduli dengan ucapannya dan malah bermain dengan ombak yang menyapa dan memainkan kakinya yang memutih karena lama berdiri di dalam air. Tatapannya tetap kosong.

“Fity.. tolong, dengarkan aku..” ucap Cinta sekali lagi. Fity menoleh dengan sinis.

“Ingin kembali?” katanya tajam, matanya seakan tak ingin melepaskan ombak yang terus menepi, lalu kembali ke tengah.

“Ya, kita akan berteman seperti dulu lagi..”

“Seperti dulu?! Kemana kamu saat kubutuhkan?!” mata gadis cantik yang tadinya bening mulai mengalirkan aliran anak sungai, namun tetap kosong.

“Kemana?????!” teriak Fity.

Warna merah mulai mewarnai tatapan matanya yang hitam bening.

“Fity, jangan salahkan aku. Kamu yang mengusirku waktu itu. ingat? Kamu lebih memilih Sunyi sebagai temanmu, bahkan kau tidak menghiraukan panggilanku dan Nadia teman dekatmu, kau harus sadari itu.” Sahutan suara Cinta yang mulai melunak.

Fity menyeringai,“Ya, aku yang mengusirmu. Seandainya waktu itu….seandainya…ya, seandainya…waktu itu,,..” Fity tak dapat meneruskan kata-katanya lagi. Mata beningnya mulai kembali diselimuti kabut. Pikirannya kembali melayang kepada peristiwa beberapa tahun silam.

*******************

Fity, cantik, putri pejabat tinggi berprestasi, baik dalam pelajaran, maupun dalam hal-hal umum, itulah gambaran teman-temannya terhadap dirinya. Sunyi dan Cinta, dua pribadi yang bertolak belakang senantiasa menemaninya. Selain itu, ia memiliki seorang sahabat kental bernama Nadia, yang memakai kerudung. Maka terciptalah dua pribadi Fity yang berbeda. Namun tak ada yang tahu penyebab itu semua. Saat bergabung dengan teman – teman gengnya, Sunyilah yang akan akan menemaninya dan tiba – tiba akan tercipta sosok pribadi yang tegar, walaupun sebenarnya rapuh dan terkoyak – koyak menahan kesedihan. Dan ketika ia menangis tersedu – sedu karena perasaan sedih yang diakibatkan kesibukan dan pertengkaran orang tuanya, maka nadia dan cintalah yang akan menghibur.

Tapi hal itu ternyata tak berlangsung lama. Ia mulai bosan dengan rutinitas yang ia jalani. Ia mulai menepiskan ajakan Nadia dan Cinta untuk tidak terjerumus ke dalam pergaulan bebas akibat broken home. Ia terjerumus. Mulai dari ke diskotik, pulang malam, bahkan tak pulang sama sekali!! Cinta dan Nadia hanya menatapnya dengan sedih, tak berdaya.

Waktupun perlahan mengiris prestasi demi prestasinya. Nadia dan Cinta terlupakan, tercampakkan. Tak jarang ia bolos sekolah. Sampai akhirnya malam itu…

“Fity, papa dan mama mendapat teguran dari kepala sekolahmu, ada apa sebenarnya denganmu?!” Ucap pak Pras, Ayah Fity, dengan nada menahan marah. Fity mendelik, diluar dugaan ia tersenyum!

“Bagus dong pa “ ucapnya enteng. Papa dan mama Fity terperanjat dengan ucapan putri mereka.

“Apa katamu?! Berani melawan papamu? Aku ini ayahmu!”

“Aku tahu, ayah yang tak pernah memperhatikan anaknya terombang – ambing tanpa kepastian, orangtua yang hanya sibuk dengan urusan kantor dan pertengkaran dengan mama, ayah yang yang selalu membuat mama menangis!”

“PLAKKK!” tamparan singgah di pipi gadis mungil itu. Sementara itu wanita separuh baya yang ada di sampingnya tampak tak berdaya. Tatapan matanya seakan memohon agar putri yang ia sayangi itu tidak melanjutkan bicaranya.Ia hanya mampu memandang dengan tatapan pilu.

“Baik, kalau papa malu punya anak tak terurus seperti aku ini, aku akan pergi! Aku juga tak sudi hidup dan makan dari uang penggelapan perusahaan ini!” katnya cuek, lalu berlari ke kamar, membereskan pakaian, dan pergi walaupun mama bersikeras melarangnya.

“Fity, jangan pergi sayang.. papa kamu Cuma emosi” wanita itu berkata lembut.

“Tidak ma, Fity sudah tahu semuanya. Fity sudah tiadak tahan ma… kalau mama tidak mau ikut Fity, Fity akan pergi sendiri…Fity sudah bersabar atas apa yang mama dan papa lakukan terhadap Fity, mama tahu bagaimana Fity melewati hari selama bertahun – tahun hanya dengan kesepian? Papa sibuk, mama juga sibuk.  mama tahu kalau papa selalu berfoya – foya, mama tahu berapa uang perusahaan dan uang rakyat digelapkan, mama tahu berapa wanita simpanan papa… tapi kenapa mama diam saja?! Fity sudah tidak bisa tinggal disini lagi ma…“ Fity terisak. Mama memeluk Fity dengan berlinang air mata.

Malam itu Fity  pergi meninggalkan rumah megah yang menyimpan semua kenangan masa kecilnya. Ia menlangkah diiringi tatapan Cinta yang hadir pada malam itu dan berdiri di samping mamanya. Namun ia tak lagi menghiraukannya. Hatinya sudah terlalu muak dengan semua ini.. terlebih lagi jika teringat masa kecil yang ia jalani dulu….

Dari tahun – ke tahun, pertengkaran demi pertengkaran orang tuanya bukanlah hal yang asing bagi Fity kecil. Ia tak mengerti mengapa ada perang mulut. Ia tak tahu mengapa suasana pagi yang cerah selalu dihiasi perdebatan di meja makan. Ia tak pernah memahami mengapa wanita setengah baya yang melahirkannya selalu mengusut air mata yang menganak sungai di pipinya secara sembunyi – sembunyi dari Fity kecil. Fity tahu wanita yang ia panggil mama tersebut menangis, seperti yang sering dilakukannya ketika tak ada teman bermain…ketika kesepian.

Air mata, tangisan mama, bantingan pintu papa, dan beribu Tanya yang dulu menyelimuti sikecil Fity mulai terungkap ketika Fity menginjak dewasa. Walaupun penjelasan tak kunjung keluar jua dari mulut wanita yang melahirkannya, namun ia mulai tahu bahwa penyebab pertengkaran orang yang ia sayangi. Papa jarang dirumah dan sibuk dengan urusan bisnisnya. Sedangkan mama…wanita itu terlalu lemah untuk protes. Bahkan ketika ia tak sengaja mendengar suatu pertengkaran… Ya, ketika papa mulai bermewah – mewah dengan kehidupannya. Mama menanyakan tentang dari mana papa mendapat uang sebanyak itu. Karena walaupun wanita itu tak pernah duduk dibangku sekolah agama, ia masih mengerti bahwa korupsi itu tidak baik dan Tuhan mengharamkannya. Dan sekarang… itu terjadi pada orang yang dicintainya. Namun, lagi – lagi ia tak kuasa melawan.

Ia pergi membawa kenangan itu. Berjalan  tanpa tujuan dari satu tempat ke tempat lainnya. Dari pub yang satu ke yang lain. Narkotik dan obat – obatan terlarang tak lagi asing baginya. Sosok remaja berprestasi itu sekejap mata berubah menjadi gadis pucat dan kurus, dengan tatapan mata yang kosong dan terus menerawang. Sempat Nadia dan Cinta datang menjemputnya. Memohon agar ia kembali. Namun pengaruh Sunyi yang selama ini selalu bersamanya begitu kuat melekat di hatinya. Dan yang lebih mengejutkan, ia mengusir Cinta dan Nadia!!

.

…………….

“Fity….” Suara lembut itu mengembalikannya ke kehidupan nyata. Matanya menatap lurus ke depan. Lembayung mulai memudar.

“Fity, kalau kamu melakukan ini, lalu apa bedanya kamu dengan lelaki itu? Yang dulu perbuatannya kamu tentang? Kamu Fity yang sekarang adalah seorang gadis yang pengecut! Kamu pikir dengan terjerumus ke dalam limbah nista dan menganiaya serta menyia – nyiakan hidup seperti ini akan menyelesaikan masalah? Kamu sama saja dengan papamu itu Fity…. Kamu sama dengan laki – laki terlaknat itu…. Sama…!!!!” suara itu semakin menjelas di telinga Fity. Ia terhuyung mencari suara itu. Terhuyung – huyung.

“TIDAAAAKK..!! aku tidak sama…!!” ia berteriak, meraung, Dan semakin terhuyung  sebelum tubuh kurus itu roboh ke pasir. Gelap.

*********

Ddua tahun berlalu….

Fity melangkahkan perlahan. Lembayung masih memayungi rumah megah yang kini berdiri di depannya. Pikirannya kembali mengawang. Dialog – dialog di hatinya yang terjadi waktu di pantai itu telah membimbingnya kembali untuk mencari cahaya Ilahi. Membuatnya kembali bersemangat untuk melawan tirani yang ada di sekelilingnya, termasuk melewati masa rehabilitasi. Bersama Nadia, ia mengikuti SPMB dengan sungguh – sungguh. Mengajukan beasiswa kesana-sini… hingga hari ini ia ada disini, menemui mamanya untuk yang pertama kali sejak malam itu..

Fity memeluk tubuh wanita setengah baya itu dengan perasaan bahagia bercampur rasa haru dan sedih. Bahagia dan terharu karena ternyata Allah masih memberinya kesempatan untuk berbakti kembali kepada sang ibu, walaupun hatinya sedih karena papanya kini tengah meringkuk di balik terali besi. Papa… Ya Allah, tunjukkanlah juga jalan-Mu kepadanya.. bisik Fity dalam hati.

The End

Depok, 19 februari 2004

RB bagian 19

Dinda membuka matanya perlahan. Selang oksigen dan alat pembantu pernapasan masih terpasang di hidung dan mulutnya. Dipandangnya dinding rumah sakit yang putih dan wajah orang – orang yang berdiri di sekeliling tempat tidurnya. Semua wajah itu memandangnya dengan tatapan cemas. Dinda memandang wajah itu satu persatu. Ayahnya menggenggam tangan gadis itu dengan erat dan bekas air mata yang belum mengering. Wajah Pram tampak pucat seperti kapas. Lalu mata Dinda beralih pada wajah lainnya. Fery, tante Tari yang sedang memeluk Anggi yang kini mengucurkan air mata, serta.. teman – teman se-Gank-nya, Desi, Mia, dan Selly!

“Din, maafin kita semua, ya? Seharusnya kita tetap dampingin elo, bantuin elo untuk melewati semua ini.. seandainya saja kita nggak ninggalin elo.. pasti semuanya nggak akan begini.. ” Mia menggenggam tangan Dinda. Matanya dipenuhi oleh butir – butir bening air mata dan memancarkan rasa penyesalan yang amat sangat.

Dinda hanya mengangguk lemah sebagai jawaban. Hati Mia, Selly, Desy dan Anggi semakin teriris – iris. Ketiganya tak mampu menahan rasa sedih mereka dan menahan isak tangis.

Tiba – tiba suasana yang beku itu dicairkan oleh suara dari arah pintu. Dokter Frans!

“Bapak Pram, nyonya Tari..” panggilan dokter mengagetkan semua yang hadir di ruangan itu. Tanpa banyak bertanya, Pram dan Tari segera mengikuti isyarat dokter yang bernama Frans itu menuju ruangannya.

“Begini pak, ibu Tari.. kami tetap akan berusaha semampu kami, tapi kami juga tidak mau membohong bapak dan ibu tentang keadaan Dinda, ini adalah saat – saat yang sulit..” Dokter Frans membuka perbincangan.

“Memangnya keadaan Dinda bagaimana Dokter?” tanya Pram cepat.

“Tubercolosis sebenarnya penyakit yang bisa diobati dan pemerintah sendiri sebenarnya menyiapkan pengobatan gratis untuk penyakit ini. Kalau pasien bisa mengikuti pengobatan menurut semestinya, Insya Allah akan sembuh. Cuma, kebanyakan pasien biasanya tidak tahan karena pengobatan yang membutuhkan waktu yang panjang, sehingga banyak yang putus berobat.. dan akibatnya kumat tebece jadi kebal terhadap obat – obatan.. Dan itulah yang dialami Dinda yang putus berobat berkali – kali dan sudah terbilang parah dan sudah mengeluarkan batuk darah.. serta tebece tidak lagi hanya menyerang paru – parunya, tapi juga telah menyerah organ – organ lainnya.. dan juga mungkin karena selama ini ia kurang istirahat, kami menemukan ada pendarahan bagian organ dalamnya, untuk itu kami masih harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut.  Dan ini,“ Dokter itu menunjuk hasil roentgen di layer proyektor di sampingnya,” Anda lihat kan? Dalam roentgen Thorax, tulang yang padat akan terlihat putih, sedangkan udara akan terlihat hitam.. tapi ini, lihatlah! Bayangan putih di mana – mana, itu artinya ada infeksi di mana – mana, dan juga undara yang tersimpan di paru – parunya sangat sedikit.”

“Berapa persen kemungkinan akan sembuh dok?” tanya Pram dengan penuh harap dan rasa takut.

“Ada, tapi sangat kecil kalau tidak segera ditangani.. sementara ini kami sudah memberi obat – obat yang mungkin akan membantu, tapi kami sendiri tidak yakin.. obat – obat itu hanya untuk sementara.. apalagi, kemungkinan pasien punya asma dan penyakit lainnya.. tapi, kami bukan tuhan yang bisa menentukan hidup dan mati seseorang, karena itu kita semua harus berdoa.”

Pram dan Tari menarik napas dalam – dalam. Semua terdiam.

“Maaf, Dokter…”

Suara lain di belakang mereka membuat ketiganya menoleh. Kaget. Ryan berdiri di sana.

“Ryan? Kok kamu bisa ke sini?” tanya Pram spontan.

“Maaf, apakah anda ada perlu dengan pak Pram atau Ibu Tari?” potong dokter Frans.

“Nggak, dokter. Saya Ryan, Nngg.. temannya Dinda. Ngg.. Maaf, sebenarnya saya sudah sejak tadi mendengar pembicaraan dokter di sini, hm.. saya Cuma menyampaikan informasi yang saya dapat.”

“Tentang apa?”

“Saya baca di internet, dan ternyata ada rumah sakit pertama yang didirikan oleh WHO dan pemerintah Latvia yang khusus menangani pasien putus berobat dan pasien yang terbilang cukup parah.”

“Oh, ya.. saya juga tahu hal itu, waktu pengobatannya cukup singkat dan memang saya tadinya akan menyarankan itu. Dan untuk pengobatan lainnya pun mungkin akan lebih baik di sana. Bagaimana pak, bu?” dokter Frans berpaling pada Pram dan tante Tari. Pram dan Tari menghela napas pasrah, seperti tak ada pilihan.

“Ngg.. tapi..” Ryan tiba – tiba tampak ragu.

“Tapi apa?” tanya Pram dan Tari serentak. Cemas.

“Saya juga dapat informasi kalau ternyata biayanya seratus kali lipat berobat biasa…”

“Itu benar.” Dokter Frans mengangguk mengiyakan.

“Saya akan bantu, dokter..” ucap tante Tari tiba – tiba, mengejutkan Pram dan Ryan. Tari mengangguk meyakinkan ketiga orang itu. Pram dan Ryan memandang Tari dengan tatapan terima kasih yang tak bisa digambarkan dengan kata- kata. Haru semerbak mewangi di ruangan itu seketika.

…………………

Fery masih termagu sendirian di samping tempat tidur Dinda. Matanya terus memandangi Dinda yang tertidur pulas. Hatinya masih terasa was-was, walaupun sejak beberapa saat yang lalu gadis di depannya itu tak lagi membutuhkan alat bantu pernapasan. Hatinya terasa pedih, begitu mengingat apa yang terjadi selama ini.

“Fer, Zahra..”

Fery dan Zahra yang sedari tadi membisu terlonjak kaget. Terlebih lagi melihat Dinda yang ternyata kini telah terbangun.

“Kok pada bengong? Mana.. yang lainnya?”

“Eh, em.. itu.. “ Fery gelagapan, “Temen – temen kamu udah pulang, waktu kamu tidur tadi, trus ayah kamu sama mamaku masih di ruang dokter..”

“Ra, Ryan udah datang ya?” tanya Dinda dengan suara lemah. Wajah terlihat semakin pucat, seputih kapas.

“Udah kak, maaf, Zahra terpaksa kasih tahu kak Ryan, tadi pas dia datang kakak lagi tidur, sekarang dia lagi ke ruang dokter.” Jawab Zahra  agak cangung.

“Kamu nggak ngasih tau kan, Fer tentang  apa yang terjadi?”

“Belum sempat, Din..”

“Ada apa sih kak?” Tanya Zahra penasaran.

Dinda tak menjawab, matanya terlihat berkaca – kaca. Zahra tak berani bertanya lebih jauh lagi.

“Tolong jangan kasih tau apa-apa ya? Janji ya, Fer?” pinta Dinda.

Fery mengangguk. Hatinya terasa teriris – iris dan sedih, “udah, Din.. kamu nggak usah mikirin apa – apa dulu, yang penting kamu bisa sembuh, ok? Oh, ya.. tadi Selvy telpon, dia titip salam buat kamu..” bujuk Fery.

“Iya.. makasih ya, kalian udah nungguin aku..”

“Seharusnya aku yang makasih, Din.. kamu nggak benci sama aku, padahal aku udah nyakitin hati kamu..” Fery tertunduk. Hatinya diliputi rasa bersalah. Dinda tersenyum.

“Udahlah, jangan diungkit lagi, semua ini bukan salah siapa – siapa. Lagipula aku senang sekarang, semua udah kembali kayak semula, teman – teman.. ayah.. kamu.. juga Ryan.. aku udah tenang sekarang, Fer.. kalaupun aku harus pergi..”

Fery dan Zahra tak tahan mendengar ucapan Dinda. Fery memalingkan mukanya. Air mata mulai mengalir dari sudut matanya. Zahra reflek menyilangkan jarinya di  bibir Dinda, menyuruh gadis itu menghentikan ucapannya, “Kak, please.. jangan bilang begitu, kakak  pasti sembuh! kakak akan sembuh.”

“Benar, Din.. “

Terdengar suara dari arah Pintu ruangan yang terkuak.

“Ryan? Ayah? Tante Tari?” ucap Dinda.

“Ya, nak, besok kita akan berangkat ke Latvia..” jelas Pram. Dinda menatap ayahnya dengan bingung.

“Buat apa, yah?”

“Ya, buat berobat laah, masak mo piknik!” celetuk Ryan.

Dinda tersenyum, lalu “Trus, biayanya..?”

Pram dan Ryan tidak segera menjawab. Keduanya hanya memandang Tari dan mengedipkan mata sebagai isyarat. Dinda segera mengerti.

“Makasih ya, tante. Maaf, Dinda merepotkan..” tante Tari mengangguk, Dinda lalu berpaling pada Pram, “Ayah, Dinda mau bicara berempat  dengan ayah, Zahra  dan Ryan.” pinta Dinda

Pram bingung. Semua yang hadir di ruangan itu segera menyingkir, lalu melangkah ke luar ruangan dengan wajah mengerti, walaupun wajah mereka diliputi rasa ingin tahu.

“Ayah, ayah nggak akan menuntut Anggi kan?”

“Nggak, sayang. Ayah udah maafkan semuanya.”

“Ayah, kalau boleh, Dinda punya satu permintaan sebelum Dinda dibawa kesana” ucap Dinda. Pram memandang Dinda bingung.

“Permintaan apa, Din?” tanya Pram.

“Dinda.. Dinda ingin ayah mau bertemu dengan seseorang..” ucap gadis itu sembari berpaling pada Ryan. Ryan balas mengangguk.

“Siapa?”

Dinda berpikir sejenak, lalu dikuatkannya hati mengatakan hal itu, “Tante.. tante Sintya.” Jawabnya pendek. Wajah Pram langsung diliputi rasa terkejut.

Di sisi lain, Ryan dan Zahra memandang Dinda dengan tak kalah terkejut. Dinda balas menatap mereka dengan wajah memohon agar kedua kakak beradik itu mengerti.

“Yan, sudah saatnya semua rahasia ini dibongkar.” Gumam Dinda pelan. Ia memberi isyarat agar Ryan mendekat.

“Din, aku…” ia berusaha membantah, tapi akhirnya ia menyadari kebenaran kata-kata gadis itu. tak ada lagi yang harus dirahasiakan, jangan adalagi teka – teki!

Dinda berpaling pada Pram, “Yah, maaf Dinda menyelidiki ini sendiri dan tak memberitahu ayah tentang semua yang sudah Dinda ketahui selama ini.. ini Ryan, anaknya tante Sintya. Dan ini.. “ Dinda berpaling pada Zahra yang sedari tadi menunduk cemas.”Ini anak.. anak ayah..” Dinda mengucapkan kata-kata terakhir  itu dengan penuh ragu – ragu.

Zahra tak berani menengadahkan mukanya. Wajah itu berubah seputih kapas. Pram apalagi. Ia terperanjat kaget, “Apa?! kamu   bilang apa, Din?”

“Ya, ayah. Dinda.. Dinda menemukan photo tante Sintya dan ternyata.. dia adalah ibu dari Ryan dan Zahra, yang selama ini menemani Dinda, menjaga ayah..”

“Benarkah itu, Din? Ryan? Zahra”

Ketiganya langsung mengangguk menjawab pertanyaan itu. lalu ia  memandang Dinda, Zahra dan Ryan secara bergantian. Tanpa diduga ia menghambur memeluk anak itu, memeluk Zahra, lalu memeluk Ryan.

“Ya Allah, terima kasih telah mempertemukan kami kembali…” air mata menetes dari sudut mata Pram. Dinda memandang pemandangan dengan perasaan haru.

“Kapan ayah mau menemui tante Sintya?” sela Dinda.

Pram melepaskan pelukannya, matanya memandang ketiga anak yang kini berdiri di depannya secara bergantian,”Ayah… ayah..” Pram tak dapat melanjutkan kata – katanya.

“Kenapa Yah?”

“Beri ayah waktu..” gumam laki – laki setengah baya itu lirih. Matanya menerawang sedih. Ryan segera memapahnya duduk di kursi di samping tempat tidur Dinda.

Semua menghela napas panjang.

……………………..

Sintya sedang duduk di kursi ruang tengah. Sebuah majalah tergeletak di depannya. Ia membolak – balik kertas itu dengan malas, seperti bosan dan capek. Tiba – tiba…

“Tok! Tok! Tok! Assalamu’alaikum…”

Suara ketukan pintu dan sebuah suara yang amat dikenalnya membuat ibu satu anak itu menoleh, “Wa’alaikumussalam” jawabnya, lalu beranjak menuju ruang tamu.

Namun sesaat kemudian langkahnya terhenti. Ia terpaku menatap orang – orang yang datang bersama Ryan. Mereka tak lain adalah Dinda dan.. Pram!

Ryan segera menyalami wanita itu, diikuti oleh Dinda, sedangkan Pram masih terpaku di depan pintu dengan mata tak berkedip dan rasa tak percaya dengan apa yang disaksikannya.

“Ibu.. maafkan Ryan. Ini..,”Ryan berpaling pada Pram,”Ibu.. ibu belum lupa bukan?”

Wanita itu tak bergeming dan seperti tak mendengar apa yang dikatakan Ryan. Matanya menatap lurus ke depan. Menatap Pram.

“Mas..” ucapnya dengan bibir gemetar.

“Sintya? Saya.. saya mencarimu kemana – mana…”

“Maafkan saya, mas…”

Dinda dan Ryan tak ingin menggangu suasana itu. Keduanya lalu segera menyingkir ke ruang tengah, membiarkan kedua orang yang baru bertemu itu.

Pram mendekati Sintya, “Saya.. Tyas..”

“Maafkan saya, mas. Saya pergi karena saya tak ingin merusak keluarga mas.. tapi, saya tak tahu kalau Tyas.. ah, saya tak tahu Tyas sudah meninggal.. sampai saya mendengar kata – kata yang diucapkan Dinda waktu acara sekolah itu.. saya benar – benar kaget..” Sintya mengucapkan kata – kata itu dengan mata berkaca-kaca. Perasaannya hancur berkeping – keping.

“Kamu tidak salah, saya yang salah.. saya yang melibatkan kamu dengan semua masalah ini.. saya yang tak berhasil menemukanmu..”

“Mas, jangan bilang begitu.. tak ada lagi yang harus disalahkan sekarang..”

Keduanya lalu beradu pandang, ada secercah kesedihan, kehilang dan kebahagiaan yang terpancar di sana.

“Mereka… “ Pram menunjuk Ryan dan Dinda yang memandang mereka dari kejauhan.

Sintya mengangguk, “Ya, mereka adalah anak – anak kita, anak – anak yang manis..” Gumamnya.

“Ya, rahasia Tuhan memang tak bisa kita duga.. “Ucapan syukur mengalir dari mulut Pram. Keduanya mengucapkan syukur tiada henti.

………………………..

Bandara Sukarno Hatta, dua hari kemudian…

Dinda membetulkan kain selendang yang menutupi kepala dan rambut panjangnya dengan rapat. Wajahnya yang pucat tertutupi oleh serinya. Empat orang gadis sebayanya  bergantian memeluknya. Mereka adalah keempat sobat Dinda. Anggi menyerahkan handphon mungilnya kepada Dinda. Gadis itu menerimanya dengan senang.

“Makasih ya, semuanya..” jawab Dinda lirih.

Dinda langsung memeluk erat Anggi, Mia, Selly dan Desi, para  sahabatnya sekali lagi, dengan perasaan bahagia bercampur sedih. Bahagia, karena semuanya sudah kembali seperti semula, sedih karena akan berpisah dan belum tentu akan bertemu kembali. Anggi, Mia, Selly dan Desy membalas pelukan Dinda. Kelima gadis itu tak kuasa untuk tidak meneteskan air mata.

“Ayo, anak–anak, kita harus pergi sekarang.” Pram menyadarkan mereka akan waktu yang semakin sempit.

Anggi Cs segera melepaskan pelukan mereka. Dinda segera berpaling ke arah lain. Dinda segera menghampiri Fery dan Selvy yang hanya beberapa langkah darinya.

“Fer, makasih atas semuanya, Selv.. maaf ya, kalo gw sempat berburuk sangka sama elo, kapan lu balik lagi ke australi?”

“Sama – sama, Din.. mungkin minggu ini, alhamdulillah, tempat gw dapat beasiswa dulu nawarin beasiswa untuk nerusin kuliah gw juga, doakan aja lancar,  biar ntar kalo lu nyusul tahun depan, udah ada yang bantu lo di sana.. ” ujar Selvy dan langsung memeluk Dinda. Dinda membalas pelukan itu dengan hangat.

Fery menyalami Dinda dengan canggung. Dinda menyambut uluran tangannya dengan menelungkupkan kedua tangannya di dada, seperti salaman ala sunda. Zahra memandang Dinda dengan tersenyum (karena yang ngajarin Dinda Zahra lho, termasuk kerudung yang sekarang menempel di kepala Dinda!)

“Ok, Hati – hati ya, Din. Oh, ya.. Yan, jaga Dinda baik – baik ya!” ucap Fery setengah berteriak ke arah Ryan. Ryan balas mengacungkan jempol, lalu bergegas memeluk Fery, “Sorry ya, gw sempat ngatain lu yang enggak – enggak..”ujar Ryan.

“Ah, justru gw yang harus minta maaf, jaga Dinda baik – baik ya, gw tahu cuma lu mengerti dia Yan, kayaknya gw harus belajar banyak nih dari elo sebelum gw jadi ipar lu…” Fery menepuk – nepuk punggung Ryan.

Semua yang hadir terbelalak, termasuk Dinda dan Zahra. Mereka semua serentak berseru, “Ipar?! Ngincer kakak atau adeknya?”.

Muka Dinda dan Zahra seketika itu juga berubah merah. Keduanya tertawa. Semua ikut tertawa.

Dinda, Pram, Anggi Cs, tante Tari dan Sintya memandang pemandangan itu dengan geleng – geleng kepala.

Dinda lalu berpaling pada Sintya, “I.. ibu.. jaga kesehatan baik – baik ya, doakan Dinda..” ujar Dinda dengan gugup, lalu berpaling pada Zahra, “Ra, jaga ibu baik – baik ya..”.

Zahra mengangguk, lalu memeluk Dinda. Sintya tak kuasa menahan air matanya. Ia memeluk gadis yang baru beberapa dua hari memanggilnya dengan sebutan ibu itu dengan perasaan sayang.

“Ibu pasti doakan, nak.. “ ucapnya, membiarkan gadis itu tetap memeluknya untuk beberapa saat.

Selang beberapa detik kemudian, terdengar pengumuman untuk nomor pesawat yang akan mereka tumpangi. Dinda mencium tangan wanita itu dengan takzim. Ryan mengikuti.

“Mas, saya titip Ryan..” ucapnya sembari memandang Pram. Pram mengangguk, lalu mengulurkan tangan, sebagai salam perpisahan.

Pram dan Ryan lalu membimbing Dinda meninggalkan ruang tunggu, diikuti tante Tari. Semua menatap pemandangan itu dengan perasaan sedih, cemas, dan penuh harap. akankah waktu masih berkenan mempertemukan mereka kembali ataukah justru menjadikan pertemuan ini pertemuan terakhir? Entahlah! Tak ada yang berani memastikan dan memberi jawaban, hanya waktu yang bisa memberikan jawaban atas  semua rahasia di dunia ini…

……TAMAT….

RB bagian 18

“Anggi?!” Jerit Dinda tertahan. Anggi langsung berhenti memberontak, lalu menepiskan tangan Fery dan langsung berlari ke dekat tante Tari.

“Ma, Fery ma.. Fery jahat sama anggi, nuduh Anggi yang nggak – nggak, ma..!” sahut Anggi, ia menarik – narik tangan tante Tari seperti anak kecil yang sedang mengadu pada ibunya.

Dinda terperangah, keningnya langsung berkerut., “Mama?” ucap Dinda spontan.

Tante Tari berpaling pada Fery, “Ada apa sebenarnya, Fer?” tanyanya bingung.

“Semua akan jelas, ma..” ucap Fery. Suaranya bergetar.

“Jadi.. Fery dan Anggi..” suara Dinda seperti tersekat. Pram menatap kejadian di depannya dengan tatapan bingung. Untungnya Fery segera cepat tanggap dengan raut muka Dinda dan Pram.

“Ya, Din, Anggi adalah adikku satu – satunya..” jelas Fery menjawab dan memberi kepastian atas pertanyaan di kepala Dinda dan om Pram.

Dinda memandang Anggi, “Nggi, kenapa kamu nggak pernah bilang tentang hal ini?”

Anggi melengos.

“Maaf, Nggi.. gw nggak dapat lagi ngebantu elo, gw nggak bisa ngebohongin diri gw terus, gw nggak bisa melihat Dinda lebih mederita lagi..” Feri memandang Anggi.

APA?!

Dinda terbelalak kaget. Kepalanya semakin terasa berat. Anggi langsung terlihat beringas, “Bohong! Lu bohong Fer! Gw nggak salah! Anggi nggak salah, ma.. Din, gw nggak bohong Din.. semua Fery yang ngelakuin, bukan gw..!!” Anggi menarik lengan baju mamanya

“Nggi, nggak ada gunanya menyangkal lagi Nggi, gw ngeliat mobil lu lewat di depan gw di malam gw mau nambrak om Pram, lu juga yang ngirim surat dan nyebarin berita itu di sekolah, lu juga yang melarang temen – temen lu buat ngejenguk dan deketin Dinda, termasuk Selvy, lu juga kan yang sengaja ngajak gw ke kafe itu kan? bahkan lu ngejebak dia dengan ngasih nomor telpon Dinda ke Ryan, tapi lu gagal karena ternyata Ryan akhirnya memang benar – benar bersahabat dengan Dinda, nggak seperti keinginan lu kan?” Fery terlihat berusaha menahan perasaannya yang hancur lebur. Dinda terbelalak.

“Dari mana lu tahu?!! Hah!!” Bentak Anggi. Mukanya memerah menahan marah dan kesal. Fery segera menuju meja belajar kamar itu dan mengeluarkan sebuah buku berwarna pink, seperti sebuah diary.

“BRENGSEKK! Lu brengsek Fer..!!” Anggi berusaha menerjang dan memukul Fery. Pram dan tante Tari segera memeganginya. Anggi memberontak.

“Maafin gw Nggi, gw ngelakuin ini semua justru karena gw sayang sama elo, gw nggak mau lu ngelakuin yang lebih jauh lagi..” Fery menahan perasaannya.

“Bohong!! Lu brengsek, Fer!”

Dinda terpana. Ia seperti tidak yakin dengan apa yang di dengarnya, “Anggi? Jadi.. elo..”

“Iya, gw! kenapa kaget? Iya, gw yang ngambil hasil lab lu yang lu taro di tempat tidur waktu kita mo berangkat ke pesta, gw juga yang ngatur pertemuan lu sama Fery yang brengsek ini, gw yang nyebarin di sekolah, gw yang kirim surat, gw yang nabrak ayah lu, gw yang bikin Selvy dan temen – teman menjauh dari lu, semuanya gw!! Termasuk gw yang suruh Selvy ngejauhin elo! Ngerti?!!” bentak Anggi, bibirnya menyeringai. Seperti seringai seekor srigala yang bersiap menerkam mangsanya. Dinda tergidik.

“Kenapa lu lakuin semua ini ke gw Nggi? Apa salah gw?” tanya Dinda berusaha setenang mungkin, agar kepalanya tidak semakin sakit.

“Kenapa lu harus kaget? Awalnya gw nggak mau ngelakuin itu, tapi ini karena lu Fer! Lu lamban!” Fery menuding Fery. Tangannya teracung di depan wajah Fery, ”Awalnya lu nggak salah Din.. yang salah itu bokap lu ini!!” Anggi menunjuk Pram yang berdiri di samping Dinda. Lalu, ”Gara-gara bokap lu ini gw harus kehilangan  papa! Gw harus menderita, beda sama lu yang hidup dengan tenang..” mata Anggi memerah menahan marah.

“Anggi, om benar – benar tidak sengaja.. itu benar –  benar kecelakaan..!” Pram buka suara.

“Benar Nggi..”tante Tari berusaha meyakinkan putrinya.

“Gw nggak peduli!” Anggi histeris.

“Jadi.. lu temenan sama gw untuk balas dendam?”

“Tadinya nggak juga, tapi begitu ngeliat lu yang begitu cantik, baik, dan perfect, gw jadi benci!” Anggi histeris.

“Kenapa Nggi? Padahal gw nganggap lu temen baik gw.. sahabat gw..” tanya Dinda bingung, bercampur sedih.

“Teman baik? O.. justru itu, lu tahu kenapa gw justru benci sama lu justru setelah gw jadi temen baik lu?”

Dinda menggeleng.

Anggi menatap Dinda semakin tajam, “Justru itu, karena lu terlalu baik, semua teman – teman yang awalnya nurut sama gw, justru jadi nurut sama lu! Apa – apa lu, ini – itu elu, dan gw? gw selalu kalah sama lu Din.. bener! Kayak buntut!”

“Tapi gw nggak pernah bermaksud begitu, Nggi..”

“Alaaah.. nggak usah sok baik!”

“Gw nggak sok baik, gw Cuma pengen lu tahu kalo gw nggak pernah bermaksud membuat lu jadi nomor dua.. “

“Basi!”

“Nggi, kalau lu beranggapan, gw bahagia setelah kecelakaan itu, lu salah besar. Gw juga kehilangan bunda..”

“Benar Nggi, kamu nggak tahu apa – apa, kamu nggak pantas menyalahkan Dinda. Dindapun sudah kehilangan ibunya karena kecelakaan itu, sama kayak kita.. dan satu hal yang nggak kamu tahu, selama itu ayah Dindalah yang membantu mama, sampai kita bisa hidup kayak gini..” tante Tari membujuk Anggi.

“Itu belum cukup, ma.. karena papa nggak akan bisa diganti dengan harta ini!!”

Dinda terdiam. Sekali lagi sekeping hatinya terasa hancur lebur dan berderai. Kepala Dinda menjadi terasa semakin berat dan pusing. Semua peristiwa beberapa waktu lalu langsung terasa berputar – putar di kepalanya. Berbagai kejadian langsung hadir bergantian dan berebut di ruang benak kepala Dinda. Jantung dinda berpacu dengan cepat dan berdebar dengan keras. Wajah – wajah di depannya semakin menjauh dan mengabur. Tubuh gadis itu terkulai. Semua terasa gelap.  Brukk!

Sementara itu di tempat lain..

Ryan tengah sibuk mengklik situs – situs di internet. sesekali tangannya mengganti kata kunci yang dicarinya, lalu mencatat informasi – informasi yang telah didapatnya. Demikianlah yang dilakukannya berulang – ulang, hingga didapatkannya sederet informasi yang dibutuhkannya yaitu, sebuah halaman yang memuat informasi tentang sebuah rumah sakit khusus  yang didirikan oleh WHO dan Latvia untuk perawatan khusus penderita TBC, yang merupakan rumah sakit khusus yang menangani kuman tebece yang kebal terhadap obat – obatan atau pengobatan yang sering terputus dalam waktu yang lebih pendek!.Dinda nggak akan semenderita berobat di sini, yang pengobatannya harus melalui suntikan setiap hari atau obat yang berkepanjangan selama enam bulan atau sembilan bulan, atau bahkan lebih!

Ryan tersenyum. Segera dimatikannya komputer rental tersebut. setelah membayar di kasir, segera ia berlari mencari wartel terdekat. Hanya satu yang ia ingin lakukan saat ini yaitu, memberitakan kabar gembira ini kepada Dinda! Dinda pasti senang, karena ia akan sembuh!

Ryan langsung menekan beberapa digit nomor telpon interlokal. RrRrRr..!!!RrRrRr..!! RrRrRr…

Sepi. Tak ada jawaban.

Ryan menekan nomor itu sekali lagi, namun lagi – lagi tak ada yang mengangkat. Kemana  gadis itu? Bukankah seharusnya ia ada di rumah, atau ayah  ada di rumah?

Ryan akhirnya menyerah. Ia memutar kepalanya. Zahra, ya.. ia akan menelpon Zahra saja. Tepat setelah dering ke dua barulah telpon di seberang diangkat. Ryan bicara dengan tidak sabar.

“Halo, Assalamu’alaikum, Zahra, ini kakak,. APA Ra?! Dinda dirawat di rumah sakit?! Keadaannya bagaimana?.. APA??! Di mana Ra? Ibu lagi kesana?”

Ryan meletakkan gagang telpon dengan tergesa – gesa dan tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Ia tersandar lemas di depan box telepon. Pikirannya kalut, air mata mengalir deras dan membanjiri sudut matanya. TIDAAAK! Dinda…!!

……bersambung ke RB bagian 19…………..

RB bagian 17

Dari balkon lantai dua sebuah rumah megah sesosok bayangan sedang mengamati dua orang  yang tengah bercakap – cakap di lantai bawah yang tak jauh di depannya. Sesekali mata di balik kaca mata ia melirik Seiko mungil yang melingkar di tangannya. Huh, Lama sekali gadis itu! keluhnya sambil menatap ke bawah, ke gerbang masuk tentunya.

Tak lama kemudian, senyumnya mengembang. Hatinya bersorak, sesuai rencana, akhirnya gadis itu datang! Dinda datang! Ah, lihat saja, sebentar lagi akan ada kekacauan sodara – sodara! Perang saudara antara ayah dan anak! Hati gadis itu bersorak riang.

Sesuai rencana, Dinda berjalan tergesa – gesa memasuki pekarangan rumah yang tak diketahuinya siapa si empunya rumah itu. Si gadis langsung mengambil tempat strategis untuk mendengar pembicaraan, namun tak terlihat dari lantai satu.

Sesampainya di pintu masuk, Dinda segera mengetuk pintu dengan ragu – ragu. Seorang perempuan setengah baya segera membukakan pintu dan mempersilahkan gadis itu masuk. Namun, baru beberapa langkah Dinda melangkah, ia langsung terperanjat dengan pemandangan di depannya. Matanya terpaku pada dua sosok yanga tengah asyik berbicara di ruang tengah. Ayah? Siapa wanita itu? pemilik rumah inikah? oh! Tante Tari!

“Dinda?” Ayah Dinda dan tante Tari serempak berseru kaget. Kedua sosok itupun seperti sangat terkejut ketika menyadari kehadiran Dinda di sana. Dinda seperti ingin lari saat itu, tapi rasa keingintahuannya lagi – lagi membuat kakinya seperti terpaku dan tak mampu beranjak dari tempatnya berpijak. Kenapa ayah tak pernah cerita kalau ternyata ia mengenal tante Tari? kenapa ayah mesti merahasiakan pertemuan ini? Hati Dinda berbisik, semua harus jelas! Semua teka – teki ini harus diselesaikan!

Pram dan tante Tari bergegas menghampiri Dinda.

“Ayah? Tante? Kenapa..” Dinda gelagapan. Kepalanya pusing, semua pertanyaannya yang tadi menempel di kepalanya tadi seperti hilang seketika.

“Dinda.. denger dulu penjelasan ayah..” Pram berusaha menenangkan Dinda, di rengkuhnya gadis itu untuk segera duduk.

Tapi tampaknya kepala gadis itu tak dapat lagi menguasai hatinya. Dinda menepiskan tangan ayahnya,” Apa arti semua ini, yah? Lalu cerita ayah beberapa hari yang lalu itu… ”

“Dinda, sungguh…”

“Nggak usah ayah, cukup Dinda di sini aja.. ayo, ceritakan semua kebenaran yang selama ini ayah sembunyikan dari Dinda..” Dinda menatap Tari dengan tatapan sinis.

“Nggak ada, sayang..”

“Jangan panggil Dinda kayak gitu, sampai semuanya ayah ceritakan.. Dinda sudah siap dengerin semuanya, Dinda sudah siap sejak Dinda melihat tante datang ke rumah sakit, membayarkan semua sisa biaya rumah sakit ayah, ayo tante, ayah..” Dinda mengusap air mata yang mengalir di pipinya.

“Dinda.. kami tak ada hubungan apa-apa. Sungguh!” jelas tante Tari.

“Seperti.. teman maksud tante?”

Tante Tari dan Pram mengangguk.

“Teman? kok kayak anak kecil aja? Atau emang ayah dan tante yang menganggap Dinda sebagai anak kecil, yang nggak mengerti apa – apa? Dinda kan punya mata dan hati. Ha?” Dinda tertawa sini.

“Ya, Din.. percayalah sama ayah, ayah nggak pernah bohong sama kamu. Ayah kesini cuma mau ngucapin terima kasih.” Pram  meyakinkan Dinda.

“Apa wajar teman membayarkan biaya sebanyak itu? dengan cara rahasia – rahasiaan segala? apa wajar pake kirim – kiriman bunga segala? Apa wajar ketemu diam – diam dan tanpa sepengetahuan Dinda?”

“Tante emang membayar sisa biayanya, itu sebagai.. ah, tante punya alasan.. tapi.. bunga? Bunga apa?” tante Tari terlihat bingung.

“Alah, tante nggak usah pura – pura nggak tahu!” Dinda kesal, ”Gimana mungkin tante nggak tahu bunga yang tante letakkan di kamar ayah waktu ke rumah sakit itu! Dinda nggak bodoh tante, Dinda udah dewasa.. udah ngerti!” mata gadis itu semakin merah menahan perasaannya yang bercampur aduk. Pram dan Tari saling berpandangan.

“Sekarang.. Dinda udah nggak percaya sama siapapun..”

“Dinda, ayah…” Pram mencoba memotong.

“Stop yah, Dinda belum selesai.. Dinda capek dibohongin.. sama tante yang baik dan Dinda kira nggak punya maksud apa – apa, sama ayah yang semua Dinda korbankan untuknya, tapi bohong sama Dinda, ayah jahat! “

“Maafin ayah Dinda.. ayah nggak bermaksud bohong sama kamu.. “ Pram menatap Dinda dengan sungguh-sungguh. Dinda tak bergeming, sampai…

“Ayah kamu benar Din, dia nggak bohong.. diantara kami emang nggak ada apa – apa, pasti itu Cuma kerjaan orang iseng.. kamu harus percaya itu.” tante Tari ikut meyakinkan Dinda.

“Dinda nggak percaya… Dinda nggak percaya..” dinda menggeleng. Air mata dengan deras membanjiri pipinya dari tadi.

“Cukup Din, semua yang dikatakan ayah kamu dan mamaku bener, tak ada yang membohongimu..”

Sebuah suara bariton yang rasanya amat dikenalnya  membuat kepala Dinda menoleh, oh.. tidak hanya Dinda, tapi juga tante Tari dan Pram, ayah Dinda. Jantung Dinda langsung berdegup kencang. Keningnya mengernyit, mulutnya yangsung berucap spontan,  “Fery? Ngapain kamu di sini?”

“Boleh kan aku di sini sesukaku, di rumahku sendiri.”

“Ya, Din.. maaf, aku udah dengerin kalian dari tadi dan aku rasa aku harus ikut campur. Karena aku nggak tahan lagi harus terus membohongi kamu dan diriku sendiri..”

“Tau apa kamu?”

“Tahu semuanya, tapi please, tolong maafin aku dulu”

“Untuk apa?” Dinda bingung.

“Karena aku sempat benci sama kamu.. bukan, bukan karena tebece itu, bukan karena.,ah, tapi…”

“Tapi apa ?” tanya Dinda sengit.

“Tapi karena kecelakaan empat belas tahun yang lalu.. karena aku nggak bisa maafin ayah kamu yang bikin papaku meninggal karena ditabrak mobil ayah kamu… aku…” Fery tak dapat melanjutkan kata – katanya.

Dinda merasakan kepalanya semakin berat untuk menangkap kalimat – kalimat yang diucapkan Fery. Ia memandang ayahnya sebentar. Lelaki itu hanya mengangguk, membenarkan apa yang dikatakan oleh Fery. Gadis itu memandang Fery dengan tatapan tajam.

“Jadi…jadi.. semua ini adalah acara balas dendam kamu sama mamamu sama aku dan ayah? Iya?!” Dinda setengah berteriak, “ Sukses acara kamu bikin aku kehilangan beasiswa? Sukses bikin aku kehilangan teman karena berita yang kamu sebarkan di sekolah? bahagia lihat ayahku terkapar berlumuran darah karena di tabrak? Masih kurang dengan keadaan kami yang sekarang tinggal di kontrakan kecil? Masih kurang? Apalagi yang kamu inginkan setelah ini? Hah?!” Dinda menatap Fery dan tante Tari tak berkedip. Semua uneg – unegnya selama ini seakan tumpah seketika.

“Tidak Din, kamu salah paham.. “Fery berusaha meyakinkan Dinda, juga Pram,

“Aku nggak percaya Fer, aku nggak percaya kamu tega melakukan perbuatan serendah itu sama aku dan ayahku!”

“Dengerin aku dulu, Din..”

“Apa? Apa yang harus aku dengerin?” Dinda semakin tak kuasa mngendalikan emosinya. Pram memegang pundak Dinda.

“Tadinya aku memang berencana menabrak oom di malam itu, aku ngikutin ayah kamu memang waktu, sampai ban mobilnya kempes di tengah jalan.. dan aku memang ikut berhenti beberapa meter setelah om Pram berhenti, tapi entah kenapa di saat – saat terakhir aku jadi bimbang, aku ngerasa aku sangat pengecut, dan akhirnya aku pulang tanpa mempedulikan apa – apa.. aku sama sekali nggak ngelakuin itu Din.. aku berani ber..”

“Apa?! Berani apa? Nggak ada lagi yang aku percaya sama kamu.. aku nggak nyangka Fer, kamu pengen kenal sama aku Cuma karena manfaatin aku aja untuk dendam kamu Fer..” Dinda memandang Fery, lalu beralih ke tante Tari,“ Tante juga.. semua nggak ada yang Dinda percaya..”

“Nggak Din, kamu nggak boleh ngomong begitu.. waktu di pesta itu aku belum tahu kalau kamu adalah anak om Pram, juga waktu makan malam itu, sungguh Din! Dan mama juga ngebantu biaya rumah sakit ayah kamu juga sebagai balas budi..”

“Aku nggak percaya..”

“Ya, Din.. mungkin Pram belum sempat cerita, dulu setelah  papanya Fery, suami tante kecelakaan, papa kamu lah yang bantu tante dan perusahaan kami.. jadi, wajar kan kalo tante juga bantu ayah kamu?” jelas tante Tari.

“Jadi semua ini.. selama ini.. oh, Dinda bingung..” Dinda memegang kepalanya yang semakin sakit.

“Sebentar, ada yang harus kamu tahu..” ucap Fery.

Dengan tergesa – gesa Fery berlari meninggalkan Dinda, Pram dan mamanya menuju lantai dua. Entah apa yang akan dilakukannya, entahlah..

Satu menit, dua menit, lima menit berlalu. Fery tak juga muncul dari lantai dua. Dinda menunggu dengan dada berdebar. Tangannya masih memijit – mijit kepalanya yang semakin sakit. Sementara itu Pram dan tante Tari memandang gadis itu dengan tatapan cemas.

“AAAAAH…!”

Tiba – tiba Dinda, Pram dan tante Tari dikejutkan oleh teriakan melengking seorang perempuan yang terdengar dari lantai dua.

Mereka segera berlari menuju asal suara yang ternyata dari salah satu kamar itu. Langkah Dinda tiba – tiba terhenti. Kakinya seperti terpaku, matanya terbelalak kaget ketika menyaksikan peristiwa di depannya. Fery sedang berusaha menarik tangan seorang gadis yang meronta dengan sekuat tenaga. Gadis itu adalah.. Anggi!

………bersambung ke rb bagian 18……..

RB bagian 16

Tiga  bulan kemudian…

Tiga bulan sudah berlalu sejak rahasia Zahra dan Ryan terbongkar. Artinya, sudah tiga bulan juga mereka menyimpan rahasia itu dengan rapat. Ya, mereka akhirnya memutuskan untuk menyimpan dulu sementara hal itu, menunggu sampai keadaan ayah Dinda benar – benar pulih dan mereka siap untuk menguak kebenaran dan membuka luka lama itu.

Uhuk!! Uhuk!!

Dinda berusaha menahan batuknya yang semakin menjadi – jadi dengan sesekali menutup mulutnya dengan tangan kirinya yang menggenggam tisu. Sekotak tisu yang tadi pagi dikantonginya terlihat hampir habis. Sementara tangan kanannya sibuk membilas piring kotor yang tak ada habisnya. Ya, Dinda mengikuti saran ayahnya, walaupun untuk itu ia harus menerima ditempatkan di tempat cucian dan bagian bersih – bersih, agar batuknya tidak mengganggu tamu yang sedang makan.

“Udahlah Din, kalo kamu sakit, kamu istirahat aja di belakang, aku masih bisa kok ngerjain ini semua, lagi pula agak sepi kok tamu hari ini..” Nana, teman se-bidang Dinda terlihat prihatin dengan kondisi Dinda.

“Iya Nda, aku juga bisa kok bantuin Nana.” Agus  yang rada – rada kemayu ikut menimpali.

Dinda tersenyum, “Nggak pa – pa kok Na, Gus, lagian tanggung! “ jawab Dinda. Nana dan Agus tak berkata apa – apa lagi. Rupanya seminggu penuh bergaul dengan Dinda sudah membuat kedua orang itu mengerti dengan karakter Dinda yang sedikit keras kepala alias susah dibilangin!

“Oh ya Din, cowok yang dulu nganterin kamu waktu pertama kali kerja itu, trus yang suka mampir itu sekarang kemana? Keren juga tuh! Tapi kok nggak pernah kelihatan lagi sih?” tanya Nana.

“O.. Ryan, sekarang dia di Bandung, kan udah mulai kuliah.. ntar sebulan sekali juga dia pulang. Kenapa Na? ”tanya Dinda sambil terus membereskan meja yang kotor dan memasukkan piring yang sudah terpakai ke dalam baskom yang dibawanya.

“Kenapa? Mau daftar jadi kakak ipar gw?”

“Kakak ipar?”

“Ryan kan saudara tiri gw, anak tiri bokap gw..”

Nana ternganga kaget, “Oh, my God!”. Ia menepuk keningnya.

Tiba – tiba pikiran jahil Dinda muncul untuk terus melanjutkan godaannya. “Kenapa? Nggak mau punya adik ipar sebaik gw? Gw baik lho? Lu nggak akan nyesel deh jadi adek gw..!” Dinda sok promosi.

“Hueeekkkkk! Nggak deh..!”Nana kontan berteriak, namun gadis itu tetap saja tak mampu menyembunyikan mukanya yang bersemu merah. Dinda ketawa ngakak. Nana lalu buru – buru meniggalkan Dinda, sebelum gadis itu sempat menggodanya lagi.

Namun, baru akan mengambil piring kotor lagi ketika langkahnya mendadak berhenti. Mata gadis itu terbelalak begitu melihat sekelebat dua bayangan yang baru memasuki restoran. Fery? Dan.. Anggi? Mengapa mereka berdua ada di sini? Ada hubungan apa diantara mereka berdua? Mungkinkah mereka…

Dinda urung melanjutkan langkahnya. Dengan tergesa – gesa, ia kembali ke belakang membawa tumpukan piring kotor ala kadarnya yang sudah terkumpul. Tanpa mempedulikan tatapan heran rekan – rekannya, Dinda melepaskan celemeknya.

“Na, Gus, gw istirahat dulu ya sebentar!” ucap Dinda.

Nana dan Agus jadi bengong. Tadi disuruh istirahat nggak mau,malah ketawa – ketawa, eh.. kok sekarang tiba – tiba minta pensiun, eh, istirahat mendadak?

Beberapa detik kemudian barulah kedua bujang dan gadis itu mengerti perihal yang menyebabkan sahabat baru mereka itu buru – buru ke belakang, yaitu ketika melihat tatapan seorang cowok yang mengikuti kepergian Dinda yang menghilang dari balik pintu ruang istirahat. Keduanya langsung geleng – geleng kepala.

Sementara itu…

Fery terlihat kaget melihat sosok seperti Dinda ada di restoran itu. berkali – kali matanya mengerjap, mencoba meyakinkan bahwa yang dilihatnya adalah Dinda. Hatinya bertanya, benarkah itu Dinda? Tapi,  Mengapa gadis itu ada di sini? Bekerjakah?

Cowok itu terus memandangi punggung yang langsung menghilang dari balik daun pintu. Fery jadi bimbang dan ragu dengan penglihatannya. Dipandanginya sekali bayangan Dinda dan Anggi yang duduk di sampingnya dengan cuek dengan ber-SMS ria  secara bergantian dengan hati sedih dan teriris – iris.

Dinda. sebenarnya ada rasa tak tega di hatinya melihat keadaan gadis itu, tapi ia harus bagaimana? Anggi.. Bagaimanapun Anggi sudah menjadi bagian penting dalam  hidupnya dan tak mungkin ia menolak keinginan gadis itu.. tak bisa!

Fery memandang bayangan Dinda dan Anggi sekali lagi. hatinya bimbang. Ah, persetan dengan semuanya!. Akhirnya Fery bergegas kebelakang meninggalkan Anggi yang kini memandangnya dengan kesal. Fery bergegas menghampiri dua sosok yang tadi dilihatnya bicara akrab dengan Dinda. Nana dan Agus.

“Maaf mbak, mas, bisa saya bicara dengan mbak yang tadi bicara sama Mbak?” tanya Fery. Dinda yang tadinya berniat memejamkan mata sebentar, jadi urung begitu mendengar samar – samar percakapan di luar.

“O.. mbak Dinda, sebentar ya mas.” Jawab Agus, yang langsung disambut dengan sikutan oleh Nana. Agus mengaduh, lalu berlari ke belakang, diikuti oleh Nana.

Tanpa menunggu Nana dan Agus bicara padanya, Dinda segera bangkit dari posisi tidurnya dengan wajah kesal dan enggan. Gadis itu segera menanggalkan celemek yang tadi masih menempel di tubuhnya, lalu bergegas menghampiri sosok Fery.

“Din, saya mau bicara.” pinta Fery.

“Saya lagi kerja.” Jawab Dinda ketus.

“Tolong, Din! lima menit aja kasih saya waktu, saya janji setelah itu saya akan pergi..” Fery memohon dengan wajah memelas.

“Ok, kamu Cuma punya waktu lima menit, setelah itu kamu harus pergi dari hadapan saya.” Ucap Dinda dingin. Nana dan Agus yang tadinya berniat nguping, jadi mengkerut. Keduanya lalu menyingkir pelan – pelan. Sama cowok cakep kok galak? Syereeemm!

Fery mengangguk. Dinda melangkah menuju ruang  belakang kafe yang agak sepi. Tak dihiraukannya pegawai kebersihan yang sedang membereskan tempat itu memperhatikannya dengan penuh heran. Fery mengikutinya.

“Din, maafkan sikap saya selama ini, tolong..” ucap Fery.

Dinda terbelalak,” Maaf ? Maaf untuk apa, ya?” tanya Dinda dingin.

“Karena saya udah nyakitin perasaan kamu, karena..”

“Karena apa?”

“Atas semua salah saya selama ini.”

“Kamu nggak salah, kok. Itu memang pantas aku dapatkan.”

“Nggak Din, saya tahu saya salah, karena itu saya minta maaf..”

“Maaf? Kenapa semua orang harus minta maaf sama aku sekarang? Kenapa begitu mudahnya?” tanya Dinda. Mata gadis itu memerah menahan semua perasaannya, “Kenapa baru sekarang? Kemana kamu pada saat aku butuhkan? Kemana kamu? Kalian? Nggak Anggi, nggak kamu.. semua sama! Apa kalian semua udah nyesel ninggalin Dinda yang tebece ini? aku ini masih tebece, jadi belum pantas untuk kalian dekati! lagi pula aku ini Cuma seorang pelayan, beda sama kalian yang orang kaya!”

Fery tertunduk,”Aku tahu, karena itu.. “

“Karena itu apa?! Saya nggak butuh rasa kasihan kamu, saya udah nggak butuh kamu, aku udah tenang dengan keadaanku sekarang, tolong jangan ganggu lagi, aku bahagia dengan hidupku sekarang, jadi tolong biarkan aku tetap bahagia sebentar saja..” Dinda berusaha menahan air matanya yang semakin berdesakan untuk segera keluar. Tidak! Aku harus kuat!

“Din, tolonglah Din, aku sama Anggi..” Fery memohon dengan wajah  memelas.

Dinda memberi isyarat dengan tangan kirinya, “Please Fer, Aku nggak mau denger penjelasan apa – apa Fer, semua yang aku lihat sudah memberikan jawaban, aku nggak perlu penjelasan apa – apa lagi dari kamu, waktu kamu udah habis, tinggalin aku sekarang juga!”

“Aku dan Anggi..”

“STOP!” potong Dinda,”Aku udah bilang, tinggalin aku sekarang atau aku akan teriak. Cepat!”

Fery menurut. Dengan langkah berat ia meninggalkan Dinda yang masih berdiri di tempatnya. Tanpa suara, air mata mengalir deras di pipinya. Hatinya terasa  hancur berkeping – keping.

Sementara itu di belakangnya Dinda tampak mulai terhuyung – huyung.

“Ya Allah, kuatkan Dinda.. Ryan, tolong Dinda, bantu Dinda menjalani semua ini, bantu adikmu ini.. Uhuk! Uhuk!” tanpa sadar Dinda bergumam lirih.

Uhuk! Huk!

Dinda mencoba menahan batuknya yang semakin menjadi – jadi dengan membekap mulutnya lebih erat dengan tisu pada tangan kanannya. Tiba – tiba mata gadis itu terbelalak melihat tisu itu. Darah! Ada darah di tisu itu! seketika Dinda merasakan dadanya terasa begitu sesak dan oksigen yang semakin menipis. Brukk!. Tubuh lemahnya ambruk. Gelap.

Dalam bayangan yang semakin menghilang Dinda mendengar suara-suara panik di sekelilingnya…

……………….

Dinda membuka matanya perlahan. Bau steril obat langsung menusuk hidungnya. Di sampingnya, tampak Agus dan Nana memandangnya dengan wajah pucat dan cemas.

“Na, gw di mana?” Dinda berusaha untuk bangkit. Tangan kirinya memegang kepalanya. Sakit! Nana segera membantu gadis itu bangun.

“Lu tadi pingsan, gw sama Agus langsung aja bawa lu ke klinik ini.” Nana ikut memijit kepala Dinda.

“Iya Din, makanya dari tadi gw bilangin lu biar istirahat, eh lu nya nggak mau, gini deh jadinya.. mana gw kan takut kalo ngeliat orang pingsan. Emang lu kenapa sih Din?” tanya Agus.

Dinda tertegusn tapi bibirnya berusaha tersenyum, “Thank’s ya udah nolong gw, sebenernya gw tebece Na, Gus.. temen – temen gw pada ngejauh dan  ini kali kedua gw putus berobat lagi untuk kedua kalinya, sejak gw terlalu sibuk ngurusin bokap gw, gw kehabisan uang untuk biaya perawatan bokap.. hmm, tapi please jangan bilang bokap gw ya keadaan gw kayak gini, please..!”Dinda memohon. Nana dan Agus memandang Dinda beberapa saat dengan tatapan iba dan bingung. Dengan ragu – ragu, akhirnya keduanya mengangguk.

“Ok, tapi lu harus janji nggak maksain lagi..” jawab Nana.

“Dan harus istirahat di sini sampai sore, ok?” sambung Agus.

Dinda mengangguk dengan penuh terima kasih kepada kedua sobatnya. Nana dan Agus tersenyum.

“Oh ya, kata dokter yang periksa lo tadi waktu pingsan, lu juga nggak boleh banyak pikiran, ntar kalo udah baikan, lu boleh balik ke restoran. Tenang aja ntar gaji lu gw yang ambilin, jadi ntar sore lu tinggal ambil ke gw, ntar gw juga yang bilang sama bos, ok?”

“Iya, makasih ya, lu bedua baik banget sama gw..”

“Yah, namanya juga temen Din, kan lu sendiri yang bilang kalau sahabat sejati itu “ada di waktu senang dan susah” Ya kan, Na?” Agus melemparkan pandangan ke Nana. Nana balas mengangguk. Ketiganya lalu tersenyum.

Dinda balas menatap Nana nakal, “Serius? Bukan karena mau jadi ipar gw?” goda Dinda.

Muka Nana kembali bersemu merah,  “Huss!! Lu ada – ada aja. Ya nggaklah.. lagian mana mungkin sih anak kuliahan yang pinter dan cakep kayak Ryan mau sama gw, Din..”

“Kalau mau? Cinta kan tak kenal kasta.” Dinda tambah mengoda dengan memijam istilah lagu pop yang sempat ngetop tahun sembilan puluhan itu.

Muka Nana tambah memerah. “Udah ah! Ok, Gw sama Agus cau dulu ya, istrahat ya! oh ya, gw lupa, bukannya ada program obat gratis dari pemerintah Din buat penderita tebece?”

“Ada. Cuma itu buat yang baru permulaan, kalau yang udah pernah putus berobat sampai dua kali kayak gw udah susah ngurusnya, harus kesinilah, rujuk kesitulah.. ada sih yang mau ngasih langsung, Cuma gw harus bayar juga obat – obat lainnya, ya vitaminlah katanya, atau apalah, tapi intinya tetap aja mahal! Ya, kecuali kalau baru berobat  permulaan, mungkin bisa langsung dapat obat. Gw waktu itu pernah ke klinik deket rumah, gw kan nggak tahu apa – apa ya? Gw cerita aja kalau gw udah pernah putus berobat dua kali.. eh, bukannya langsung dikasih obat, malah tuh dokter nggak mau ngasih gw obat, gw malah disuruh ngurus surat dan macem – macem dulu ke rumah sakit kota..”

“O, gitu, ya udah ya, gw tinggal, bye..” Nana menggenggam tangan Dinda, lalu melangkah menuju pintu.

“Iya, bye juga Din, istirahat ya?” ujar Agus mengikuti buru-buru, takut ditinggal Nana!.

Dinda tersenyum dengan melihat tingkah kedua sobatnya itu.  Matanya terus memandangi punggung dua sobat barunya yang hilang dari balik daun pintu. Gajian, ya! Untungnya bos restoran tempatnya bekerja sekarang itu mau berbaik hati pada Dinda dan bersedia memberikan gaji tiap minggunya, sehingga Dinda tak begitu kesulitan dalam pengeluaran sehari – harinya.

Nana dan Agus. Mengingatkan Dinda pada sahabat – sahabatnya waktu di SMU dulu, bagaimana ya kabarnya mereka sekarang? Pada kuliah di mana? Ah, mungkin benar kata orang, sahabat itu selalu datang dan pergi. Tapi, di manakah yang namanya sahabat sejati?

……………….

“Lam lei koem! Ayah..! Dinda pulang nih! Hari ini Dinda gajian lho.. Tau nggak Dinda bawa apaan buat ayah? Pasti deh ayah suka, Dijamin!”  Dinda berteriak nyaring setelah membuka pintu dengan kunci serap yang di bawanya. Wajahnya berusaha menyembunyikan apa yang telah menimpanya. Ceria. Kantong plastik bawaannya diletakkannya dengan hati – hati di atas meja makan berukuran kecil itu. lalu dengan hati – hati gadis itu melangkah ke depan pintu kamar ayahnya, dengan niat mengagetkan pria itu ketika sang ayah membuka pintu nanti.

Namun, beberapa detik kemudian.. pintu yang yang diharap – harap akan terbuka tak juga menunjukkan tanda – tanda akan terbuka. Perasaan Dinda langsung was – was. Didorongnya handel pindu perlahan. Kosong! Kamar ayah kosong!

Kemana Ayah? Kenapa tak bilang kalau mau pergi?

Mata Dinda menyapu seisi kamar. Tiba – tiba matanya tertuju pada secarik kertas yang tergeletak di lantai kamar, di samping tempat tidur ayahnya. Sebaris tulisan tangan tertera di sana. Sebuah alamat lengkap tertulis di sana. Dinda mengenali tulisan itu sebagai tulisan ayahnya.

Apa ini? Kening Dinda mengernyit. Otaknya mencoba mengolah dan memahami maksud dari tulisan tersebut. Komplek Ini rasanya tak begitu jauh dari sini, tapi ini rumah siapa? mungkinkah Ayah pergi menemui seseorang yang memiliki nomor telpon ini dan di tempat yang tertulis di kertas ini? lalu kalau ternyata benar,  siapa orang ini? kenapa ayah tak bilang kalau dia akan pergi?

Dinda memasukkan kertas itu ke dalam kantong jaketnya dengan tergesa – gesa. Disambarnya kembali tas yang tadi di sandangnya tanpa mempedulikan belanjaan yang tergeletak di meja. Pikirannya hanya satu, Ini saatnya Din menyelesaikan semuanya! ia harus mencari tahu siapa yang ditemuinya dan menjawab semua teka – teki yang memenuhi kepalanya selama ini, termasuk masalah tante Tari!

………bersambung ke RB bagian 17………

RB bagian 15

“Eh, Yan, kalau boleh aku tahu, ayah kamu kerjanya apa? Di mana?” tanya Dinda sore itu, ketika Ryan mampir ke tempat restoran dimana ia bekerja.

Ryan tampak gugup, lalu menyeruput tehnya, lalu memutar – mutar cangkir itu. Dinda memperhatikan semua gelagat itu dengan cermat dan penuh curiga.

“Kenapa? aku nggak boleh tahu ya?” tanya Dinda hati – hati. Ryan langsung menoleh cepat, ia memandang Dinda, “Nggak Din, aku udah nggak punya ayah sejak kecil. Aku, Zahra dan ibuku hanya hidup bertiga aja.”

“Memangnya setelah berpisah dengan ayahmu, ibu kamu nggak pernah nikah lagi?”

“Nggak. Pernah aku suruh nikah lagi, tapi ibu menolak.”

“Kenapa?”

“Ya nggak tahu. Emang kenapa sih Din kok kamu tiba – tiba cerewet begini soal keluargaku?”Ryan sedikit kesal.

“Nggak. Nanya aja. Nggak boleh?”

“Boleh aja, Cuma kan nggak biasanya begitu.”

“Kan baru sekarang ingatnya, jadi baru sekarang juga nanyanya. Oh, udah ya, ada tamu, Dinda ke belakang dulu.” Dinda beranjak dari duduknya. Tapi, tiba – tiba..

“Din, tunggu..!”

Dinda urung melanjutkan langkahnya. Ia segera berbalik, lalu menghampiri Ryan, “Ada apa? Ada yang mau kamu omongin?”

Ryan terlihat ragu – ragu,”Nggg, besok aku berangkat ke Bandung. Kuliah semester satu udah mau mulai. Aku.. aku..”

“Kamu kenapa?” tanya Dinda setenang mungkin.

“Aku minta maaf  karena aku nggak bisa bantu kamu lagi dan mungkin aku akan titip Zahra.”

“Nggak apa-apa kok. Hati – hati ya di sana nanti. semoga semua yang kamu cita-citakan tercapai semua..”

“Oh ya, nanti sore aku dan Zahra diundang ke acara kegiatan sosial di kampung sebelah, kalau kamu mau ikut, nanti aku dan Zahra akan jemput kamu, mungkin untuk terakhir kalinya kita pergi bertiga ..”

Dinda mengangguk, lalu meninggalkan Ryan yang memandangnya sekilas dengan tatapan sedih untuk beberapa saat, lalu kembali asyik dengan pikirannya dan memutar – mutar cangkir tehnya, sambil sesekali memainkan sendok kecil yang tergeletak di atas piring di depannya itu.

Ryan termagu, tatapannya penuh dengan rasa was-was dan takut, “Ada apa sebenarnya? Mengapa Dinda tiba – tiba menanyakan hal itu, padahal selama ini sekalipun tak pernah dibicarakannya? Apakah Dinda sudah mengetahui semua rahasia itu? tentang aku, Zahra, dan Ibu? Kalau sudah, mengapa gadis itu tak langsung saja mengatakan hal itu? Ataukah aku harus mengatakan hal itu langsung kepadanya sebelum.. sebelum kami berpisah nanti? ah, tidak. Biarlah waktu yang akan menjawab semuanya, semua pertanyaan dan teka – teki ini.. ”

Ryan menghabiskan potongan terakhir puding yang tersisa di piringnya, lalu  menyeruput teh terakhir yang tersisa di dasar cangkirnya, lalu bergegas menuju kasir dan meninggalkan restoran kecil itu dengan perasaan kacau tak menentu.

…………………………

Rumah Ryan dan Zahra…

Zahra keluar menuju ruang makan untuk membuatkan Dinda minum. Ryan duduk dengan kepala tertunduk, “Din, aku.. mau bicara..” Ryan memecah kebekuan sore terakhir itu dengan suara gemetar.  Ini untuk pertama kalinya Dinda melihat cowok itu bicara gelagapan sampai gemetar seperti ini.

“Ya, aku juga mau bicara..” sahut Dinda.

“Oh ya, ya udah kamu aja duluan..”

“Nggak, kamu aja Yan.”

Ryan menarik napas panjang. Wajahnya serius, sungguh sangat berbeda dengan Ryan yang biasanya. Dindapun demikian. Ia memperhatikan dengan pernuh perhatian dan menunggu kata – kata yang akan diucapkan Ryan dengan berdebar – debar dan rasa penasaran yang meluap – luap.

“Nggg, aku.. Cuma mau tanya, apa kamu sudah tahu rahasia.. rahasia diantara kita?”

“Maksud kamu rahasia orang tua kita?”

Ryan tampak sedikir terkejut dengan jawaban Dinda, tapi sesaat kemudian ia tampak sudah bisa menguasai keadaan kembali.

“Jadi.. jadi kamu sudah mengetahuinya?”

Dinda mengangguk,”Ya, aku tahu secara nggak sengaja.”

“Ok, ok. Sekarang giliran kamu bicara.”

“Aku Cuma beberapa pertanyaan..” sahut Dinda pendek.

“Apa itu?”

“Apa.. kamu terlibat dengan semua kejadian yang kami alami selama ini? kenapa kamu dan Zahra mendekatiku selama ini? Kenapa tiba – tiba kalian memasuki kehidupanku?”

“Din!”sanggah Ryan cepat, “Aku tak mengerti maksud kamu.. ok, ok. Aku akan cerita.. begini..” Ryan menarik napas dalam – dalam, ia mulai bercerita.

“Aku akui, memang sudah lama memperhatikan kamu, sejak satu sekolah denganmu. Aku sendiri nggak ngerti Din, tapi yang jelas aku merasa ada sesuatu yang membuat aku terus memperhatikanmu. Mungkin itulah yang disebut ikatan batin.. Waktu itu aku belum sadar kalau kamu adalah anak.. om Pram. Mama pernah cerita padaku tentang papaku, tepatnya mungkin papa tiriku.. dan kehidupannya di masa lalu, tapi.. aku benar – benar nggak tahu kalau siapa dia.. sampai waktu itu, waktu acara pemilihan siswa teladan itu.. secara nggak sengaja aku liahat profile kamu, nama orang tuamu.. dan akhirnya aku menyelidiki semuanya, dan akhirnya akupun mengetahui kenyataan itu..” Ryan mengakhiri ceritanya.

“Hanya itu?”

“Ya”

“Kamu nggak dendam sama aku?”tanya Dinda.

“Dendam? Kenapa aku harus dendam?”

“Karena ayahku meninggalkan kalian..”

Ryan memandang Dinda dengan tatapan tajam,“Aku percaya sama ibu, aku tetap berpegang pada kata – kata ibu. Ibu selalu mengatakan bahwa ia justru berhutang budi sama ayahmu, jadi itu juga yang membuat aku dan Zahra berusaha menemani kamu, menjagamu..  jadi tak ada alasan bagiku untuk membencimu.. tak ada alasan bagiku untuk membenci saudara tiriku sendiri.. dan…”

Ucapan Ryan terputus. Rupanya tanpa mereka sadari Zahra sudah berdiri di pintu ruang tamu dengan wajah terkejut dan tangannya yang memegang nampan gemetaran tak menentu. Wajah Ryan pucat pasi. Dinda memandang Ryan dan Zahra secara bergantian.

“Zahra udah dengar semuanya, kak.”

“Maafin kakak, Ra. Kakak dan Ibu terpaksa merahasiakan semuanya dari kamu.”

“Kenapa kak? Kenapa harus dirahasiakan?” terlihat sedikit kilat kemarahan dimata gadis itu. Zahra meletakkan baki yang dibawanya di atas meja, lalu duduk di samping Ryan.

“Karena.. kakak dan ibu nggak mau kamu punya anggapan yang salah tentang papa kamu.”

Ryan dan Dinda saling berpandangan dan menghela napas panjang. Zahra diam. Matanya terlihat mulai berkaca –  kaca.

“Jadi.. papa Zahra masih hidup, kak?”

Ryan mengangguk ragu dan takut. Zahra kembali diam untuk beberapa saat. Ryan dan Dinda ikut diam, tak berani bicara. Mendadak suasana hening mencekam menguasai ruang tamu kecil itu. Sampai akhirnya tanpa diduga…

“Alhamdulillah… ya Allah, Zahra masih punya ayah.. dan punya kakak.” gumam lirih itu meluncur dari bibir gadis itu. Ia menghambur memeluk Dinda.

“Alhamdulillah.. “ sambut Ryan dan Dinda. Lega.

…………bersambung ke RB bagian 16……………..